Siang ini, seorang teman di salah satu grup whatsapp
sharing sebuah nasihat seorang ustad. Nasihatnya bagus sekali. Dan kali ini saya juga ingin men-
share kepada teman-teman pembaca blog ini. Semoga bermanfaat.
Ukhuwah Indah Menuju Jannah, Iyakah?
( Umar Hidayat, M.Ag. )
"Sungguh tiap mukmin itu bersaudara."
Tak usah risau lantaran ukhuwah hanya akibat dari iman.
Karena saat kita melemah, saat keakraban kita merapuh, saat salam terasa
menyakitkan, saat kebersamaan serasa siksaan, saat kebaikan justru melukai, sesungguhnya yang rusak bukanlah ukhuwah, tapi iman-iman kita sedang sakit. Mari kita waspadai jebakan setan hingga
melemahkan keimanan.
PERSAHABATAN bukanlah pelangi, yang indah hanya sekejap..
PERSAHABATAN bukan pula matahari, yang menemani 1/2 hari..
PERSAHABATAN adalah HATI yang melekat dalam diri & akan ada dalam jiwa.
PERSAHABATAN bukan pula BULAN yang nampak indah hanya saat PURNAMA
Ia seperti UDARA yang kita hirup saat terlelap dan terjaga.
Aha..
Betapa berbangga hati yang bisa berukhuwah.
Tapi ada yang lebih jelita lagi, ketika kita memilikinya dalam Minhatun
Robbaniyyah. Dalam Nikmatun Ilahiyah.
Dalam Quwwatun Imaniyah. Di saat seperti inilah selaksa kerinduan yang tak
harap berpisah. Maka pantas saja Al-Faruq, Umar bin Al Khattab pernah
melantunkan kata "Aku tidak mau hidup lama di dunia yang fana ini,kecuali karena tiga hal: keindahan berjihad di jalanNya, repotnya berdiri
Qiyamul Lail, dan indahnya bertemu dengan sahabat lama."
Mungkin kisah berikut mampu mengawal perasaan kita. Betapa ukhuwah itu
penanda iman kita.
Semenjak wafat Nabi Saw, Bilal menyatakan diri tidak akan
mengumandangkan adzan lagi. Ketika Khalifah Abu Bakar Ra. memintanya untuk jadi muadzin kembali, dengan
hati pilu nan sendu Bilal berkata:" Biarkan aku jadi muadzin Nabi saja. Nabi telah tiada, maka aku bukan muadzin siapa-siapa lagi."
Abu Bakar Ra. pun tak bisa lagi mendesak Bilal untuk kembali
mengumandangkan adzan. Kesedihan sebab ditinggal wafat Nabi Saw., terus mengendap di hati Bilal. Dan kesedihan itu yang mendorongnya meninggalkan Madinah, dia ikut pasukan
Fath Islamy menuju Syam, dan kemudian tinggal di Homs, Syria.
Lama Bilal tak mengunjungi Madinah, sampai pada suatu malam, Nabi Saw
hadir dalam mimpi Bilal, dan menegurnya:
"Ya Bilal, wa maa hadzal jafa?"
"Hai Bilal, kenapa engkau tak mengunjungiku? Kenapa sampai begini?"
Bilal pun bangun terperanjat, segera dia mempersiapkan perjalanan ke
Madinah, untuk ziarah pada Nabi. Sekian tahun sudah dia meninggalkan Nabi. Setiba di Madinah, Bilal bersedu sedan melepas rasa rindunya pada Nabi Saw.,
pada sang kekasih. Saat itu, dua pemuda yang telah beranjak dewasa, mendekatinya. Keduanya
adalah cucunya Nabi Saw., Hasan dan Husein. Sembari mata sembab oleh tangis,
Bilal yang kian beranjak tua memeluk kedua cucu Nabi Saw itu.
Salah satu dari keduanya berkata kepada Bilal Ra.: "Paman, maukah engkau
sekali saja mengumandangkan adzan buat kami? Kami ingin mengenang kakek kami." Ketika itu, Umar bin Khattab yang telah
jadi Khalifah juga sedang melihat pemandangan mengharukan itu, dan beliau juga
memohon pada Bilal untuk mengumandangkan adzan, meski sekali saja.Bilal pun memenuhi permintaan itu.
Saat waktu shalat tiba, dia naik pada tempat dahulu biasa dia adzan pada
masa Nabi Saw masih hidup. Mulailah dia mengumandangkan adzan. Saat lafadz Allahu Akbar dikumandangkan olehnya, mendadak seluruh Madinah
senyap, segala aktifitas terhenti, semua terkejut, suara yang telah
bertahun-tahun hilang, suara yang mengingatkan pada sosok nan agung, suara yang
begitu dirindukan, itu telah kembali.
Ketika Bilal meneriakkan kata Asyhadu an laa ilaha illallah, seluruh isi
kota madinah berlarian ke arah suara itu sembari berteriak, bahkan para gadis
dalam pingitan mereka pun keluar. Dan saat bilal mengumandangkan Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, Madinah
pecah oleh tangisan dan ratapan yang sangat memilukan. Semua menangis, teringat masa-masa indah bersama Nabi, Umar bin Khattab yang
paling keras tangisnya. Bahkan Bilal sendiri pun tak sanggup meneruskan
adzannya, lidahnya tercekat oleh air mata yang berderai. Hari itu madinah
mengenang masa saat masih ada Nabi Saw.
Bayangkan kita seolah sedang hidup bersama di tengah-tengah mereka. Hamba-hamba Allah yang selalu terhubung dengan langit dan merasakan indahnya
ukhuwah dalam kebenaran dan kemuliaan. Maka jika masih ada batas dalam perjalan ukhuwah kita, bisa dipastikan kita
telah gagal mengenggam makna ukhuwah yang sebenarnya.
Ada sebuah nasihat dari ibnul Qoyyim Al Jauzi. Ukhuwwah itu hanya sekedar
buah dari keimanan kita kepada Allah. Jadi jika ukhuwwahnya bermasalah mari kita evaluasi keimanan kita kepada
Nya.
Efek dari hubungan baik kita dengan yang ada di langit secara langsung
berefek pada baiknya keterhububungan kita dengan bumi.
Dalam sebuah kutipan ada yang mengingatkan pada kita
#Sebesar cintamu pada Allah, sebesar itu pula cinta orang lain kepadamu.
Sebesar ketakutanmu akan murka Allah, sebesar itu pula keseganan orang lain
terhadapmu.
Sebesar kesibukanmu pada Allah, sebesar itu pula orang lain sibuk untukmu.
''kutipan Al Mughirah''#
Begitu juga dalam Ayat Al quran.
"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah
antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat
rahmat." (QS. AL HUJURAT:10).
Hati yang beriman adalah hati yang jelita disebabkan dalam hati mereka
selalu bersambung dengan Allah dan selalu meneladani rasulullah.
Salim fillah berkata, hati yang jelita itu adalah hati yang selalu
mengulurkan rasa cinta pada sesama.
Hati mereka selalu tunduk pada Allah dan rasulullah sehingga mudah tunduk
pada ukhuwah meski dengan berbagai perbedaan yang ada.
Dan rendahkanlah dirimu bila bersama orang mukmin. Kita diminta berendah
hati bila kita mau meneladani rasulullah.
Karena ketika kita merendah kita tak akan mudah terjatuh. Dan bila sampai
terjatuh tak begitu terasa sakit.
ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺻﻞ ﻋﻠﻰ ﺳﻴﺪﻧﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ ﻭﺑﺎﺭﻙ وسلم