Ada sebuah
istilah di minang yang saya baru tau kemaren, dan mungkin juga sebagian anak
muda minang juga belum semuanya tau istilah ini, yaitu tainduak. Kalau minang
diindonesiakan jadinya "terinduk." Ter-induk, induk disini maksudnya
adalah orangtua dan bisa juga keluarga. Nah, yang saya tau istilah ini biasanya
dilekatkan kepada laki-laki.Tainduak merupakan sebuah sifat buruk yang biasanya
mulai nampak pada laki-laki yang akan menikah atau sudah menjadi suami.
Seorang
laki-laki yang tainduak, seringkali selalu menuruti apa kata orangtua
dan/keluarga besarnya, dalam konteks negatif. Dia tidak berani memiliki
pendapat yang berbeda dan takut bertindak yang bertentangan dengan pikiran
orangtuanya berkaitan dengan rumah tangganya sendiri. Dia seperti tidak punya
pendirian. Jika laki-laki tainduak ini memiliki orangtua yang paham bahwa
mereka tidak boleh ikut campur urusan rumah tangga anaknya, maka mungkin sifat
ini tidak terlalu menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah jika orangtua
atau keluarga besar laki-laki tainduak ini juga tidak menghargai dan tidak
memahami hak-hak anak laki-lakinya dalam mengurusi rumah tangganya sendiri.
Mereka suka mengintervensi dan ikut campur urusan rumah tangga anak laki-lakinya.
Ikut campur orangtua dalam urusan rumah tangga anaknya tentu saja akan memicu
timbulnya pertengkaran antara suami istri itu sendiri. Padahal, di dalam agama
islam dijelaskan bahwa permasalahan rumah tangga anak tidak boleh dicampuri
oleh orangtua atau keluarga besar, kecuali jika sudah sangat terpaksa.
Sifat
tainduak laki-laki ditambah lagi dengan keluarga yang tidak memberi kebebasan
anaknya dalam mengurusi rumah tangganya, bisa menjadi tekanan bagi laki-laki
tersebut, apalagi bagi istrinya. Tidak masalah jika istri memiliki pola pikir
dan sifat yang mirip dengan keluarga besar suami, tapi jika tidak maka hidup
istri mungkin akan penuh dengan tekanan.
Teman saya
pernah bercerita bahwa seorang ibu yang bekerja di dekat apotek tempatnya
bekerja memiliki suami dengan sifat tainduak. Suaminya tidak pernah memberinya
nafkah, uang hasil kerjanya hanya diberikan kepada orangtuanya. Padahal mereka
sudah dikaruniai anak, tapi suami ini pun tidak pernah membiayai anaknya juga.
Bahkan pernah Ibu ini tidak pergi kerja karena tidak punya uang untuk ongkos
angkot saking bangkrutnya. Ending story-nya,
cerai. Padahal kalau si suami orang yang paham (agama) bahwa istri dan anak
adalah tanggung jawabnya maka dia tidak akan melakukan hal itu. Tanggung jawab
seorang laki-laki yang sudah menikah adalah membiayai hidup orangtuanya dan
keluarganya (istri dan anak).
Cerita lain
lagi, seorang wanita yang menikah dengan seorang laki-laki. Orangtua si
laki-laki sebenarnya tidak terlalu suka dengan menantunya ini tapi saya tidak
terlalu tau kenapa mereka akhirnya bisa menikah. Wanita ini kemudian tinggal
dirumah mertua dan sering sekali mertua menyuruh menantunya ini bekerja keras
di sawah. Ketika wanita ini hamil tentu saja dia tidak bisa bekerja sekeras
sebelumnya, mertuanya kesal dan singkat cerita wanita ini pulang ke rumah orang
tuanya. Semenjak itu hingga anaknya sudah lahirpun, suaminya tidak pernah
mengunjunginya. Kalau bukan karena takut kepada orangtuanya, laki-laki ini
seharusnya sudah melihat istri dan anaknya. Laki-laki ini kemudian menikah
dengan wanita lain.
Rasulullah adalah teladan kita. Saya pernah mendengar kisah tentang
rasulullah berkaitan dengan keluarga anaknya, Fatimah Az-zahra. Ketika itu
rasul berkunjung ke rumah fatimah. Rasul mendapati fatimah sedang murung. Rasul berfirasat bahwa fatimah ada sedikit masalah dg suaminya, Ali
bin abi thalib. Rasulullah bertanya dengan beradab: “dimana anak menantu saya?”
(bukan bertanya dimana suami kamu). Maka fatimah menjawab: “dia keluar dengan
sedang tidak senang pada saya.” Lalu nabi tidak bertanya apa masalah mereka,
karena masalah rumah tangga harus diatasi oleh suami istri itu sendiri,
walaupun keluarga anak sendiri. Kecuali jika sudah tidak bisa diatasi oleh
suami istri tersebut, maka barulah keluarga besar boleh ikut serta membantu
tapi hanya sebagai hakim.
Saya heran,
mungkin suami dengan sifat tainduak ini gagal paham mengenai kepatuhan kepada
orangtua dan tanggung jawabnya sebagai suami. Mereka takut dianggap durhaka
jika tidak menuruti kata orang tuanya. Padahal, perintah orangtua harus
dipatuhi selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran yang diajarkan
agama.
Tidak cukup
hanya dengan menjadi baik, menjadi suami dengan kepribadian kuat itu juga
harus, punya prinsip dan memegang teguh prinsip tersebut, tegas, dan berani
mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah, walaupun kesalahan
itu berasal dari keluarga sendiri.
Categories:
humaniora,
islam,
kacamataku