Banner 468

Tainduak

Posted by muty on - -


Ada sebuah istilah di minang yang saya baru tau kemaren, dan mungkin juga sebagian anak muda minang juga belum semuanya tau istilah ini, yaitu tainduak. Kalau minang diindonesiakan jadinya "terinduk." Ter-induk, induk disini maksudnya adalah orangtua dan bisa juga keluarga. Nah, yang saya tau istilah ini biasanya dilekatkan kepada laki-laki.Tainduak merupakan sebuah sifat buruk yang biasanya mulai nampak pada laki-laki yang akan menikah atau sudah menjadi suami.

Seorang laki-laki yang tainduak, seringkali selalu menuruti apa kata orangtua dan/keluarga besarnya, dalam konteks negatif. Dia tidak berani memiliki pendapat yang berbeda dan takut bertindak yang bertentangan dengan pikiran orangtuanya berkaitan dengan rumah tangganya sendiri. Dia seperti tidak punya pendirian. Jika laki-laki tainduak ini memiliki orangtua yang paham bahwa mereka tidak boleh ikut campur urusan rumah tangga anaknya, maka mungkin sifat ini tidak terlalu menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah jika orangtua atau keluarga besar laki-laki tainduak ini juga tidak menghargai dan tidak memahami hak-hak anak laki-lakinya dalam mengurusi rumah tangganya sendiri. Mereka suka mengintervensi dan ikut campur urusan rumah tangga anak laki-lakinya. Ikut campur orangtua dalam urusan rumah tangga anaknya tentu saja akan memicu timbulnya pertengkaran antara suami istri itu sendiri. Padahal, di dalam agama islam dijelaskan bahwa permasalahan rumah tangga anak tidak boleh dicampuri oleh orangtua atau keluarga besar, kecuali jika sudah sangat terpaksa.
 Sifat tainduak laki-laki ditambah lagi dengan keluarga yang tidak memberi kebebasan anaknya dalam mengurusi rumah tangganya, bisa menjadi tekanan bagi laki-laki tersebut, apalagi bagi istrinya. Tidak masalah jika istri memiliki pola pikir dan sifat yang mirip dengan keluarga besar suami, tapi jika tidak maka hidup istri mungkin akan penuh dengan tekanan.

Teman saya pernah bercerita bahwa seorang ibu yang bekerja di dekat apotek tempatnya bekerja memiliki suami dengan sifat tainduak. Suaminya tidak pernah memberinya nafkah, uang hasil kerjanya hanya diberikan kepada orangtuanya. Padahal mereka sudah dikaruniai anak, tapi suami ini pun tidak pernah membiayai anaknya juga. Bahkan pernah Ibu ini tidak pergi kerja karena tidak punya uang untuk ongkos angkot saking bangkrutnya. Ending story-nya, cerai. Padahal kalau si suami orang yang paham (agama) bahwa istri dan anak adalah tanggung jawabnya maka dia tidak akan melakukan hal itu. Tanggung jawab seorang laki-laki yang sudah menikah adalah membiayai hidup orangtuanya dan keluarganya (istri dan anak).
Cerita lain lagi, seorang wanita yang menikah dengan seorang laki-laki. Orangtua si laki-laki sebenarnya tidak terlalu suka dengan menantunya ini tapi saya tidak terlalu tau kenapa mereka akhirnya bisa menikah. Wanita ini kemudian tinggal dirumah mertua dan sering sekali mertua menyuruh menantunya ini bekerja keras di sawah. Ketika wanita ini hamil tentu saja dia tidak bisa bekerja sekeras sebelumnya, mertuanya kesal dan singkat cerita wanita ini pulang ke rumah orang tuanya. Semenjak itu hingga anaknya sudah lahirpun, suaminya tidak pernah mengunjunginya. Kalau bukan karena takut kepada orangtuanya, laki-laki ini seharusnya sudah melihat istri dan anaknya. Laki-laki ini kemudian menikah dengan wanita lain.

Rasulullah adalah teladan kita. Saya pernah mendengar kisah tentang rasulullah berkaitan dengan keluarga anaknya, Fatimah Az-zahra. Ketika itu rasul berkunjung ke rumah fatimah. Rasul mendapati fatimah sedang murung. Rasul berfirasat bahwa fatimah ada sedikit masalah dg suaminya, Ali bin abi thalib. Rasulullah bertanya dengan beradab: “dimana anak menantu saya?” (bukan bertanya dimana suami kamu). Maka fatimah menjawab: “dia keluar dengan sedang tidak senang pada saya.” Lalu nabi tidak bertanya apa masalah mereka, karena masalah rumah tangga harus diatasi oleh suami istri itu sendiri, walaupun keluarga anak sendiri. Kecuali jika sudah tidak bisa diatasi oleh suami istri tersebut, maka barulah keluarga besar boleh ikut serta membantu tapi hanya sebagai hakim.

Saya heran, mungkin suami dengan sifat tainduak ini gagal paham mengenai kepatuhan kepada orangtua dan tanggung jawabnya sebagai suami. Mereka takut dianggap durhaka jika tidak menuruti kata orang tuanya. Padahal, perintah orangtua harus dipatuhi selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran yang diajarkan agama.
Tidak cukup hanya dengan menjadi baik, menjadi suami dengan kepribadian kuat itu juga harus, punya prinsip dan memegang teguh prinsip tersebut, tegas, dan berani mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah, walaupun kesalahan itu berasal dari keluarga sendiri.

Categories: , ,